Sebelum kimia organik dikenal, simplisia merupakan bahan
utama yang harus tersedia ditempat meramu atau meracik obat dan umumnya diramu
atau diracik sendiri oleh tabib yang memeriksa sipenderita, sehingga dengan
cara tersebut Farmakognosi dianggap sebagai bagian dari Materia Medika.
Simplisia di apotik kemudian terdesak oleh perkembangan galenika, sehingga
persediaan simplisia di apotik digantikan dengan sediaan-sedian galenik yaitu,
tingtur, ekstrak, anggur dan lain-lain.
Kemudian setelah kimia organik berkembang, menyebabkan makin terdesaknya kedudukan simplisia di apotik-apotik. Tetapi hal ini bukan berarti simplisia tidak diperlukan lagi, hanya tempatnya tergeser ke pabrik-pabrik farmasi, tanpa adanya simplisia di apotik tidak akan terdapat sediaan-sediaan galenik, ataupun zat-zat kimia murni dengan segala bentuknya (serbuk, tablet, ampul, dll), misalnya injeksi Kinin antipirin, secara sepintas Kinin antipirin dalam pembuatannya tidak memerlukan simplisia, tetapi cukup dua zat kimia murni yaitu kinina dan antipirin, dimana antipirin diperoleh secara sintetis, sedangkan kinina hanya dapat diperoleh dari kulit kina. Sedangkan kulit kina sendiri baru dapat diperoleh setelah ada kepastian bahwa tanaman yang akan ditebang benar-benar jenis Cinchona yang dikehendaki.
Dalam proses pembuatan zat-zat secara semisintetis, maka farmakognosi sangat erat hubungannya dengan biokimia dan kimia sintesa, misalnya dalam pembuatan Kortison, Hidrokortison, Prednison dan Prednisolon. Untuk membuat keempat macam hormon tersebut, sebagai bahan baku dipergunakan Stigmasterol yang terdapat dalam biji kedelai atau menggunakan diosgenin yang terdapat dalam umbi gadung. Biji kedelai dan umbi gadung tidak pernah dimuat monografinya dalam farmakope, tetapi secara tidak langsung kedua bahan tersebut penting bagi proses semisintesa yang akan dilakukan.
Dari contoh-contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup Farmakognosi tidak terbatas pada pengetahuan tentang simplisia yang tertera dalam Farmakope, tetapi meliputi pemanfaatan alam nabati, hewani dan mineral dalam berbagai aspeknya dibidang farmasi kesehatan.
Kemudian setelah kimia organik berkembang, menyebabkan makin terdesaknya kedudukan simplisia di apotik-apotik. Tetapi hal ini bukan berarti simplisia tidak diperlukan lagi, hanya tempatnya tergeser ke pabrik-pabrik farmasi, tanpa adanya simplisia di apotik tidak akan terdapat sediaan-sediaan galenik, ataupun zat-zat kimia murni dengan segala bentuknya (serbuk, tablet, ampul, dll), misalnya injeksi Kinin antipirin, secara sepintas Kinin antipirin dalam pembuatannya tidak memerlukan simplisia, tetapi cukup dua zat kimia murni yaitu kinina dan antipirin, dimana antipirin diperoleh secara sintetis, sedangkan kinina hanya dapat diperoleh dari kulit kina. Sedangkan kulit kina sendiri baru dapat diperoleh setelah ada kepastian bahwa tanaman yang akan ditebang benar-benar jenis Cinchona yang dikehendaki.
Dalam proses pembuatan zat-zat secara semisintetis, maka farmakognosi sangat erat hubungannya dengan biokimia dan kimia sintesa, misalnya dalam pembuatan Kortison, Hidrokortison, Prednison dan Prednisolon. Untuk membuat keempat macam hormon tersebut, sebagai bahan baku dipergunakan Stigmasterol yang terdapat dalam biji kedelai atau menggunakan diosgenin yang terdapat dalam umbi gadung. Biji kedelai dan umbi gadung tidak pernah dimuat monografinya dalam farmakope, tetapi secara tidak langsung kedua bahan tersebut penting bagi proses semisintesa yang akan dilakukan.
Dari contoh-contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup Farmakognosi tidak terbatas pada pengetahuan tentang simplisia yang tertera dalam Farmakope, tetapi meliputi pemanfaatan alam nabati, hewani dan mineral dalam berbagai aspeknya dibidang farmasi kesehatan.
0 komentar:
Posting Komentar